Berita

November 2025

Wednesday, 19 Nov 2025

Distorsi Pemahaman Waralaba dan Kemitraan di Kalangan Pelaku UMKM dan Masyarakat

 

Di tengah kondisi ekonomi yang tidak menentu, semakin banyak masyarakat mencari peluang usaha sampingan untuk menambah penghasilan. Salah satu sistem bisnis yang paling diminati oleh pelaku usaha pemula adalah waralaba. Sistem ini menawarkan kemudahan berupa penggunaan merek, produk, serta sistem operasional yang telah terbukti berhasil, sehingga dapat mengurangi risiko kerugian bagi pemilik usaha baru.

Namun, di balik popularitasnya, masih banyak terjadi distorsi pemahaman di kalangan masyarakat, khususnya pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (“UMKM”), dalam membedakan antara waralaba dan kemitraan. Tidak sedikit penawaran kerja sama bisnis yang menggunakan istilah "waralaba", padahal jika ditinjau lebih dalam, bentuk kerja sama tersebut sebenarnya adalah kemitraan, yang memiliki karakteristik dan konsekuensi hukum yang berbeda. Kesalahpahaman ini berpotensi menimbulkan kerugian, baik dari sisi operasional maupun legal, bagi pihak-pihak yang terlibat.

Kemitraan menurut Undang-Undang No. 20 Tahun 2008 tentang UMKM adalah kerja sama dalam keterkaitan usaha, baik langsung maupun tidak langsung, yang didasarkan pada prinsip saling memerlukan, mempercayai, memperkuat, dan menguntungkan. Kemitraan ini melibatkan pelaku UMKM dengan usaha besar dan dapat dilaksanakan melalui berbagai pola, seperti inti plasma, subkontrak, waralaba, perdagangan umum, distribusi dan keagenan, rantai pasok, serta bentuk kemitraan lainnya seperti bagi hasil, kerja sama operasi, usaha patungan (joint venture), dan penyumber-luaran (outsourcing). Dari penjelasan tersebut, jelas bahwa waralaba merupakan salah satu bentuk kemitraan. Namun, untuk dapat disebut sebagai waralaba, kemitraan tersebut harus memenuhi definisi serta kriteria yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Definisi waralaba di Indonesia mengalami pembaruan melalui Peraturan Pemerintah No. 35 Tahun 2024 (“PP 35/2024”) yang menggantikan Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2007 (“PP 42/2007”). Berdasarkan ketentuan terbaru ini, waralaba diartikan sebagai hak khusus yang dimiliki oleh individu atau badan usaha atas suatu sistem bisnis yang memenuhi kriteria tertentu, dalam rangka memasarkan barang dan/atau jasa yang telah terbukti berhasil, dan dapat dimanfaatkan oleh pihak lain melalui perjanjian waralaba. Kriteria usaha yang dapat dikategorikan sebagai waralaba antara lain: memiliki sistem bisnis yang terdokumentasi secara menyeluruh; telah terbukti menguntungkan dengan masa operasional minimal tiga tahun berturut-turut dan laporan keuangan dua tahun terakhir yang telah diaudit; memiliki kekayaan intelektual yang tercatat atau terdaftar; serta mampu memberikan dukungan berkelanjutan kepada penerima waralaba.

Ketua Komite Tetap Kadin Indonesia bidang Franchise License and Networking Marketing, Levita G. Supit, dalam artikel di Detik Finance berjudul “Belajar dari Kasus Menantea, Ini Cara Bedakan Franchise dan Kemitraan” tertanggal 14 April 2023, menyatakan bahwa banyak bisnis di Indonesia yang mengklaim atau dianggap sebagai waralaba padahal belum memenuhi syarat, terutama dari segi usia usaha dan struktur kerja sama. Kesalahpahaman terkait hal ini umumnya muncul akibat kurangnya pemahaman masyarakat mengenai syarat-syarat yang harus dipenuhi agar suatu usaha dapat dikategorikan sebagai waralaba. Banyaknya gerai dan mitra dalam suatu usaha belum cukup untuk menjadikan usaha tersebut sebagai waralaba.

Salah satu usaha yang didirikan pada saat pandemi covid-19 (April 2021) dan berkembang cukup pesat dengan (i) banyaknya gerai dan (ii) mitra yang bergabung adalah usaha teh aroma Menantea (“Menantea”). Pada saat Menantea didirikan, aturan hukum yang berlaku untuk waralaba adalah PP 42/2007 yang salah satunya mensyaratkan agar usaha yang dapat mengajukan Surat Tanda Pendaftaran Waralaba (“STPW”) adalah usaha yang telah memberikan keuntungan selama 5 tahun sementara keluhan mitra Menantea mencuat dan menjadi pembicaraan di publik sejak maret 2023, 2 tahun sejak Menantea berdiri.

Para mitra usaha tersebut sebelumnya setuju bergabung dengan Menantea karena menganggap penawaran kerja sama tersebut sebagai waralaba di mana mereka cukup menyetorkan sejumlah dana dan berhak menggunakan merek, produk, serta sistem operasional standar di bawah manajemen Menantea. Janji keuntungan, kemudahan operasional, dan citra bisnis yang terdengar mapan menjadi faktor utama yang menarik para pelaku usaha untuk bergabung sebagai mitra. Namun, seiring berjalannya waktu, muncul berbagai kendala komunikasi antara manajemen pusat dan para mitra. Banyak mitra mengeluhkan kurangnya keterbukaan keuangan dan pendampingan dari pihak manajemen, sehingga mereka tidak memperoleh keuntungan seperti yang dijanjikan. Keluhan-keluhan ini disampaikan langsung kepada manajemen maupun melalui curahan hati di media sosial.

Sejumlah konsultan hukum dan ahli waralaba menyoroti sistem bisnis Menantea, dan mendapatkan bahwa Menantea belum memenuhi syarat untuk dikategorikan sebagai waralaba. Meski telah memiliki sistem bisnis terdokumentasi dan kekayaan intelektual yang terdaftar di Direktorat Merek, pada saat itu Menantea belum memenuhi ketentuan untuk memperoleh STPW, sesuai PP 42/2007, yakni: (i) telah beroperasi minimal lima tahun, dan (ii) terbukti menguntungkan selama periode tersebut. Fakta bahwa Menantea didirikan pada 10 April 2021 dan mulai menawarkan kemitraan pada 21 Agustus 2021 memperkuat kesimpulan tersebut. Berdasarkan informasi dari berbagai media, hingga pertengahan 2025 belum ada penyelesaian hukum resmi antara mitra dan manajemen Menantea. Hal ini dapat dilihat dalam artikel Kompasiana  tanggal 2 Juli 2025 sebagaimana tautan berikut [*]  

Adanya distorsi dalam membedakan bisnis waralaba dan kemitraan tersebut mengharuskan para pelaku usaha untuk lebih berhati-hati dalam mengenali apakah bisnis yang ditawarkan benar-benar dapat dikategorikan sebagai waralaba. Berikut adalah beberapa kiat untuk mengetahui apakah suatu bisnis benar-benar merupakan waralaba:

  1. Ada perjanjian waralaba tertulis
    Perjanjian waralaba ini idealnya secara lugas menyebutkan bentuk kemitraan waralaba dan memiliki ciri-ciri setidaknya sebagaimana berikut: mencakup hak dan kewajiban kedua belah pihak, termasuk penggunaan merek dagang, sistem operasional, pelatihan, dan dukungan, serta franchise fee dan royalti bulanan yang merupakan ciri khas waralaba.

  2. Memiliki Hak Kekayaan Intelektual (HKI)
    Bisnis waralaba yang sah memiliki merek dagang, logo, desain, paten, atau HKI lainnya yang telah terdaftar pada Dirjen HKI.

  3. Model bisnis yang sudah terbukti
    Waralaba yang sah biasanya memiliki beberapa cabang bisnis yang sukses dan sistem operasional yang terstandarisasi. Bisnis ini setidaknya telah berdiri selama tiga tahun berdasarkan aturan revisi terbaru waralaba pada PP 35/2024 yang menggantikan jangka waktu 5 tahun pada PP 42/2007.

  4. Ada pelatihan dan dukungan dari pemberi waralaba
    Pemberi waralaba memberikan pelatihan awal dan dukungan berkelanjutan kepada penerima waralaba sehingga memenuhi standar kualitas usaha yang sama baiknya.

  5. Transparansi biaya dan potensi keuntungan
    Informasi tentang franchise fee, biaya waralaba, royalti, dan estimasi keuntungan dijelaskan secara terbuka sebelum perjanjian ditandatangani.

  6. Terdaftar di asosiasi waralaba resmi
    Di Indonesia, bisnis waralaba yang sah telah memiliki STPW dari Kementerian Perdagangan dan pada umumnya terdaftar di Asosiasi Franchise Indonesia (AFI) sebagai asosiasi resmi pengusaha waralaba nasional yang berdiri sejak 1991.

Dengan (i) memahami perbedaan antara waralaba dan kemitraan serta (ii) mengenali ciri-ciri waralaba yang sah, pelaku usaha pemula dapat lebih bijak dalam memilih jenis kerja sama bisnis yang sesuai dengan ekspektasi dan tujuan usaha mereka. Di sisi lain, pengusaha besar yang ingin menjalin kerja sama melalui pola kemitraan juga perlu mengetahui hal-hal yang harus diatur dalam klausul perjanjian, serta memahami aspek-aspek yang perlu dihindari agar tidak menimbulkan harapan atau persepsi keliru bahwa kemitraan tersebut merupakan waralaba. Selain itu, baik pelaku usaha pemula dan pengusaha besar juga harus memahami bahwa penggunaan istilah atau logo waralaba secara tidak sah dapat dikenakan sanksi administratif, dan bahkan berpotensi menimbulkan pertanggungjawaban pidana apabila pelanggaran tersebut berdampak luas atau melanggar ketentuan hukum lainnya.

 

 

Pembatasan: Berita hukum ini hanya berfungsi sebagai panduan umum dan tidak boleh dianggap sebagai nasihat hukum. Jika anda ingin mendapatkan informasi lebih lanjut mengenai topik ini, silahkan menghubungi Diyah Ratnajati (dratnajati@rosetini.co.id) atau Rosetini Ibrahim (ribrahim@rosetini.co.id).